Sabtu, 16 April 2011

ASKEP HEMODIALISA


A.     PENDAHULUAN

1.     Latar Belakang

Menurut Price dan Wilson (1995) Hemodialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu. Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (alat dialisis) ke dalam dialisat (Tisher & Wilcox, 1997). Alat dialisis juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran semipermeabel. Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997). Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006). Pasien hemodialisa sangatlah tergantung dengan mesin semasa sisa umurnya. Dalam pelaksanaan hemodialisa sangatlah banyak komplikasi dan kemungkinan yang terjadi, sehingga diperlukan asuhan keperawatan untuk membantu pasien menjalani hemodialisa dengan komplikasi yang minimal.

2.     Tujuan

Tujuan pembuatan laporan pendahuluan pasa Asuhan Keperawatan pasien Hemodialisa adalah :

a.     Mengerti dan memahami tentang proses hemodialisa, indikasi, kontra indikasi dan komplikasi yang mungkin terjadi pada saat hemodialisa.
b.     Mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada saat hemodialisa.
c.      Menerapkan asuhan keperawatan pada pasien dengan hemodialisa.

B.     KONSEP TEORI

Hemodialisa

a.      Pengertian

Menurut Price dan Wilson (1995) Hemodialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telahmenjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher & Wilcox, 1997). Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).

b.     Indikasi

Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria, 4 mg/100 ml pada wanita danglomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi. Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik. Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL.Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.

c.      Kontra Indikasi

Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

d.      Tujuan

Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :

1)     Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2)     Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3)     Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4)     Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

e.      Proses Hemodialisa

Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik.Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan (Tisher & Wilcox, 1997). Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke dalam mesin hemodialisa (NKF, 2006). Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah darah ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillarydializer yang terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil ini, dan cairan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995). Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt). Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena. Cairan dialisa membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa.
Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membransemipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi,osmosisdan ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solutSirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran denganquick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai parameter (Price & Wilson, 1995). Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanyahemodialisa disesuaikan dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.

f.       Komplikasi Hemodialisa

Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :

1)     Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.

2)     Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.

3)     Aritmia
Hipoksiahipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
  
4)     Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemenini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.

5)     Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

6)     Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

7)     Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.

8)     Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada aksesvaskuler.

9)     Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

C.     ASUHAN KEPERAWATAN

1.      Pengkajian

Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah :

    Sindrom uremia
    Mual, muntah, perdarahan GI.
    Pusing, nafas kusmaul, koma.
    Perikarditis, cardiar aritmia
    Edema, gagal jantung, edema paru
    H          ipertensi

Manifestasi klinik

§    Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau gatal-gatal
§    Kuku ; kuku tipis dan rapuh
§    Rambut : kering dan rapuh
§    Oral ; halitosis / faktor uremic, perdarahan gusi
§    Lambung ; mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
§    Pulmonary ; uremic “lung” atau pnemonia
§    Asam basa ; asidosis metabolik
§    Neurologic ; letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot : pegal
§    Hematologi : about it, perdarahan

2.   Diagnosa Keperawatan

a.     Kelebihan volume cairan
b.     Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c.      PK : Perdarahan
d.     PK : Hiperkalemia
e.     PK : Hipoglikemia
f.      PK : Asidosis
g.  PK : Anemia




Nama : Eva Marlina
Kelas  : 05200ID08052

ASKEP TRAUMA GINJAL

BAB I

KONSEP MEDIS

A.     DEFINISI

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam.

B.     ETIOLOGI

1.    Trauma abdomen.
2.    Trauma punggung.

Mekanisme trauma pada ginjal perlu diperhatikan benar oleh klinis. Berikut adalah mekanisme yang umumnya terjadi pada trauma ginjal;

1.    Trauma tembus
2.    Trauma tumpul
3.    Iatrogenic
4.    Intraoperatif
5.    Lain-lain

C.     KLASIFIKASI

1.    Trauma renal minor mencakup kontusi, hematom dan beberapa laserasi dikorteks ginjal.
2.    Cedera renal mayor mencakup laserasi mayor disertai rupture kapsul ginjal.
3.    Trauma vaskuler (renal kritikal) meliputi laserasi multiple yang parah pada ginjal disertai cedera panda suplay vaskuler ginjal.

Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle:

Grade I
Lesi meliputi :

1.    Kontusi ginjal
2.    Minor laserasi korteks dan medula tanpa gangguan pada sistem pelviocalices
3.    Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang – kadang)
·      75 – 80 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade II
Lesi meliputi
1.    Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine
2.    Sering terjadi hematom perinefron
·      Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla
·      10 – 15 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade III
Lesi meliputi
1.    Ginjal yang hancur
2.    Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal
·      5 % dari keseluruhan trauma ginjal

Grade IV
Meliputi lesi yang jarang terjadi yaitu:
1.    Avulasi pada ureteropelvic junction
2.    Laserasi pada pelvis renal

D.     PATOFISIOLOGI

Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis. Ginjal yang terletak pada rongga retroperitoneal bagian atas hanya terfiksasi oleh pedikel pembuluh darah serta ureter, sementara masa ginjal melayang bebas dalam bantalan lemak yang berada dalam fascia Gerota. Fascia Gerota sendiri yang efektif dalam mengatasi sejumlah kecil hematom , tidak sempurna dalam perkembangannnya. Kantong fascia ini meluas kebawah sepanjang ureter ,meskipun menyatu pada dinding anterior aorta serta vena cava inferior, namun mudah untuk sobek oleh adanya perdarahan hebat sehingga perdarahan melewati garis tengah dan mengisi rongga retroperitoneal.(Guerriero, 1984). Karena miskinnya fiksasi, ginjal mudah mengalami dislokasi oleh adanya akselerasi maupun deselerasi mendadak, yang bisa menyebabkan trauma seperti avulsi collecting system atau sobekan pada intima arteri renalis sehingga terjadi oklusi parsial maupun komplet pembuluh darah. Sejumlah darah besar dapat terperangkap didalam rongga retroperitoneal sebelum dilakukan stabilisasi. Keadaan ekstrem ini sering terjadi pada pasien yang datang di ruang gawat darurat dengan kondisi stabil sementara terdapat perdarahan retroperitoneal. Korteks ginjal ditutupi kapsul tipis yang cukup kuat. Trauma yang menyebabkan robekan kapsul sehingga menimbulkan perdarahan pada kantong gerota perlu lebih mendapat perhatian dibanding trauma yang tidak menyebabkan robekan pada kapsul. Vena renalis kiri terletak ventral aorta sehingga luka penetrans didaerah ini bisa menyebabkan trauma pada kedua struktur. Karena letaknya yang berdekatan antara pankreas dan pole atas ginjal kiri serta duodenum dengan tepi medial ginjal kanan bisa menyebabkan trauma kombinasi pada pankreas, duodenum dan ginjal.. Anatomi ginjal yang mengalami kelainan seperti hidronefrosis atau tumor maligna lebih mudah mengalami ruptur hanya oleh adanya trauma ringan.(McAninch,2000).

E.     MANIFESTASI KLINIS

1.    Nyeri
2.    Hematuria
3.    Mual dan muntah
4.    Distensi abdomen
5.    Syok akinat trauma multisistem
6.    Nyeri pada bagian punggung
7.    Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar
8.    Massa di rongga panggul
9.    Ekimosis
10. Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul

F.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1.    Laboratorium
2.    Plain photo
3.    Intravenous Urography (IVU)
4.    CT Scan
5.    Asteriografi
6.    USG

G.     PENATALAKSANAAN MEDIS

1.    Konservatif
2.    Eksplorasi
a.    Indikasi absolut
b.    Indikasi relatif

H.     KOMPLIKASI

Komplikasi awal terjadi I bulan pertama setelah cedera

1.    Urinoma
2.    Delayed bleeding
3.    Urinary fistula
4.    Abses
5.    Hipertensi

Komplikasi lanjut

1.    Hidronefrosis
2.    Arteriovenous fistula
3.    Piolenofritis

BAB II

KONSEP PERAWATAN

A.     DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.    Nyeri akut b/d trauma
2.    Gangguan eliminasi urine b/d trauma
3.    Ketidakefektifan perfusi jaringan; ginjal b/d trauma
4.    Resiko hipertensi b/d infark parenkim renal



B.     INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa nyeri b/d trauma
Tujuan              : Nyeri dapat terkontrol
Intervensi          :
-      Kaji intensitas nyeri, perhatikan lokasi dan karakteristik
Rasional        :   hasil pengkajian membantu evaluasi derajat ketidaknyamanan dan ketidakefektifan analgesik atau menyatakan adanya komplikasi.
-      Bedrest dan atur posisi yang nyaman bagi pasien
Rasional        :   posisi yang nyaman dapat membantu meminimalkan nyeri.
-      Anjurkan pasien untuk menghindari posisi yang menekan lumbal, daerah trauma.
Rasional        :   nyeri akut tercetus panda area ginjal oleh penekanan.
-      Lakukan kompres dingin area ekimosis bila tanpa kontra indikasi
Rasional        :   kompres dingin mengkontriksi vaskuler.
-      Berikan analgesik sesuai dengan resep
Rasional        :   analgesic dapat menghilangnkan nyeri dan ketidaknyamanan.

Diagnosa Gangguan eliminasi urine b/d trauma
Tujuan              : Eliminasi urine cukup atau kembali normal
Intervensi          :
-      Monitor asupan dan keluaran urine
Rasional        :   hasil monitoring memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi. Contohnya infeksi dan perdarahan.
-      Monitor paralisis ileus (bising usus)
Rasional        :   Gangguan dalam kembalinya bising usus dapat mengindikasikan adanya komplikasi, contoh peritonitis, obstruksi mekanik.
-      Amankan inspeksi, dan bandingkan setiap specimen urine.
Rasional        :   berguna untuk mengetahui aliran urine dan hematuria.
-      Lakukan kateterisasi bila diindikasikan.
Rasional        :   kateterisasi meminimalkan kegiatan berkemih pasien yang kesulitan berkemih manual.
-   Pantau posisi selang drainase dan kantung sehingga memungkinkan ridak terhambatnya aliran urine.
Rasional        :   hambatan aliran urine memungkinkan terbentuknya tekanan dalam saluran perkremihan, membuat resiko kebocoran dan kerusakan parenkim ginjal.

Diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan; ginjal b/d trauma
Tujuan              : Mempertahankan fungsi renal agar maksimal
Intervensi          :
-      Kaji tanda-tanda vital
Rasional        :   pengamatan tanda-tanda vital membantu memutuskan tindakan keperawatan yang tepat.
-      Kolaborasi dalam terapi nutrisi dan vitamin yang tepat
Rasional        :   keseimbangan diet yang tepat perlu untuk penyembuhan dan regenerasi jaringan.
-      Kaji daerah abdomen, dada dan punggung
Rasional        :   mengetahui adanya pembengkakan, palpasi massa, edema, ekimosis, perdarahan atau ekstravasasi urine.
-      Beri tanda lingkaran massa dengan pena
Rasional        :   teknik untuk membandingkan ukuran lanjut.

-      Berikan cairan intra vena
Rasional        :   terapi intra vena berguna dalam memperbaiki tekanan darah dan perfusi ginjal
-     Monitor hematura
Rasional        :   hematuria mengidentifikasi perdarahan renal.
-       Anjurkan pasien untuk meningkatkan asupan cairan bila diindikasikan.
Rasional        :   peningkatan pemasukan cairan membantu pelancaran haluaran urine; menilai faal ginjal.

Diagnosa resiko hipertensi b/d infark parenkim ginjal
Tujuan              : Untuk meminimalkan resiko/ mencegah hipertensi.
Intervensi          :
-      Awasi denyut jantung, tekanan darah dan CVP
Rasional        :   Takikardi dan hipertensi terjadi karena (1) Kegagalan ginjal untuk mengekskresi urine, (2) Perubahan fase oliguria,dan atau (3) Perubahan panda system aldosteron rennin-angio tensin.
-      Amati warna kulit, kelembapan, suhu dan masa pengisian kapiler
Rasional        :   Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan pengisian kapiler lambat mungkin berkaitan dengan vasokontriksi.
-      Berikan lingkungan tenang dan nyaman
Rasional        :   Lingkungan yang tenang dan nyaman membantu menurunkan ransang simpatis , meningkatkan relaksasi.
-      Pertahankan pembatasan aktivitas, seperti istirahat ditempat tidur atau kursi, jadwal periode istirahat tanpa gangguan
Rasional        :   Aktivitas yang minimal dan periode istirahat yang tepat dijadwalkan membantu menghindari stress dan ketegangan yang mempengaruhi tekanan darah.
-      Kolaborasi terapi obat-obatan
          Rasional        :         Inhibitor simpatis dapat menekan pelepasan renin.


Nama : Eva Marlina
Kelas  : 2 D/05200ID08052